Makalah Nafkah Keluarga dan Pendidikan Anak

Makalah Fikih:Nafkah Keluarga dan Pendidikan Anak

on Kamis, 09 Mei 2013

BAB I PENDAHULUAN 

 

           Perbincangan mengenai hak ataupun kewajiban yang bersifat materi, seperti nafkah dibahas dalam fiqh sebagai bagian dari kajian fiqh keluarga (al-ahwal al-syakhshiyah) Al-Qur’an yang tidak memberikan ketentuan yang jelas dan pasti mengenai berapa besarnya ukuran nafkah seorang suami kepada isteri baik berupa batas maksimal maupun batas minimal. Tidak adanya ketentuan yang menjelaskan berapa ukuran nafkah secara pasti, justru menunjukkan betapa fleksibelnya Islam dalam menetapkan aturan nafkah. Dan juga pembahasan mengenai pendidikan anak dalam keluarga, yang sangat penting di bahas, karena anak itu adalah sebuah perhiasan, pemimpin di masa yang akan datang. Dan tentunya sebagai pengganti keturunan seorang kepala keluarga spesifiknya pada orang tua yaitu bapak dan ibu yang mempunyai anak itu, dan dimana anak adalah titipan yang harus di jaga dan di didik sesuai dengan syari’at Islam. Karena apa? anak adalah yang bisa menolong orang tua-nya baik di dunia terlebih lagi di akhirat. Dan mudah-mudahan kita semua menjadi keluarga yang bahagia, terutama sebagai kepala keluarga yaitu suami yang berperan penuh sebagai pemimpin keluarga yang harus adil dan bertanggung jawab sesuai dengan Sunnah Nabi “Setiap kalian adalah pemimpin, maka akan dmintai pertanggunjawaban”, dapat diartikan bahwa tugas sebagai pemimpin besar tanggung jawab di alam akhirat kelak. Dan untuk ini maka Pemakalah mencoba akan membahas tentang “Nafkah keluarga dan Pendidikan Anak dalam Keluarga”.



BAB II PEMBAHASAN 

  A. Pengetian Nafkah 


         Secara etimologi, nafkah berasal dari bahasa Arab yakni dari suku kata anfaqa – yunfiqu- infaqan (انفق- ينفق- انفاقا)[1]. Dalam kamus Arab-Indonesia, secara etimologi kata nafkah diartikan dengan “ pembelanjaan[2]. Dalam tata bahasa Indonesia kata nafkah secara resmi sudah dipakai dengan arti pengeluaran.[3] Dalam kitab-kitab fiqh pembahasan nafkah selalu dikaitkan dengan pembahasan nikah, karena nafkah merupakan konsekuensi terjadinya suatu aqad antara seorang pria dengan seorang wanita. (tanggung jawab seorang suami dalam rumah tangga/keluarga), sebagaimana yang diungkapkan oleh al- Syarkawi : “Ukuran makanan tertentu yang diberikan (menjadi tanggungan) oleh suami terhadap isterinya, pembantunya, orang tua, anak budak dan binatang ternak sesuai dengan kebutuhannya” . Defenisi yang dikemukakan oleh al-Syarkawi di atas belum mencakup semua bentuk nafkah yang dijelaskan dalam ayat dan sunnah Rasul. Wahbah al-Zuhaili menjelaskan pengertian nafkah sebagai berikut: “Nafkah Yaitu mencukupi kebutuhan orang yang menjadi tanggungannya berupa makanan, pakaian dan tempat tinggal”[4]. Mencermati beberapa definisi serta batasan tersebut di atas dapat dipahami, bahwa nafkah itu adalah pengeluaran yang biasanya dipergunakan oleh seseorang untuk orang yang menjadi tanggungannya dalam memenuhi kebutuhan hidup, baik berupa pangan, sandang ataupun papan dan lainnya dengan sesuatu yang baik. B. Dasar Hukum Nafkah Adapun dasar hukum tentang eksistensi dan kewajiban nafkah terdapat dalam beberapa ayat Al-Qur’an, hadis Rasulullah, kesepakatan para imam madzhab maupun UU yang ada di Indonesia, diantaranya adalah: 1. Surat Ath-Thalaq ayat 6-7


 أَسْكِنُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ سَكَنْتُمْ مِنْ وُجْدِكُمْ وَلَا تُضَارُّوهُنَّ لِتُضَيِّقُوا عَلَيْهِنَّ وَإِنْ كُنَّ أُولَاتِ حَمْلٍ فَأَنْفِقُوا عَلَيْهِنَّ حَتَّى يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ فَإِنْ أَرْضَعْنَ لَكُمْ فَآَتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ وَأْتَمِرُوا بَيْنَكُمْ بِمَعْرُوفٍ وَإِنْ تَعَاسَرْتُمْ فَسَتُرْضِعُ لَهُ أُخْرَى (6) لِيُنْفِقْ ذُو سَعَةٍ مِنْ سَعَتِهِ وَمَنْ قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ فَلْيُنْفِقْ مِمَّا آَتَاهُ اللَّهُ لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا مَا آَتَاهَا سَيَجْعَلُ اللَّهُ بَعْدَ عُسْرٍ يُسْرًا (7) “Tempatkanlah mereka (para isteri) dimana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan hati mereka karena ingin utuk menyempitkan mereka. Jika mereka hamil berikan mereka belanja sampai lahir kandungan mereka. Jika mereka menyusukan untukmu (anakmu) berilah upah (imbalannya). Bermusyawarahlah kamu dengan sebaik-baiknya.Tetapi jika kamu kepayahan hendaklah (carilah) perempuan lain yang akan menyusukannnya”(6) “Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan (kekurangan) rezkinya hendaklah memberi nafkah sesuai dengan apa yang dikaruniakan Allah kepadanya, Allah tidak memberikan beban kepada seseorang kecuali sesuai dengan apa yang diberikan Allah. Semoga Allah akan memberikan kelapangan setelah kesempitan”(7)[5] Dalam ayat dapat kita pahami bahwa: a. Suami wajib memberikan istri tempat berteduh dan nafkah lainnya. b. Istri harus mengikuti suami dan bertempat tinggal di tempat suami. Besarnya kewajiaban nafkah tergantung pada keleluasaan suami. Jadi pemberian nafkah berdasarkan atas kesanggupan suami bukan permintaan istri.[6] Al-Qurthubi berpendapat bahwa firman Allah (لينفق) maksudnya adalah; hendaklah suami memberi nafkah kepada isterinya, atau anaknya yang masih kecil menurut ukuran kemampuan baik yang mempunyai kelapangan atau menurut ukuran miskin andaikata dia adalah orang yang tidak berkecukupan. Jadi ukuran nafkah ditentukan menurut keadaan orang yang memberi nafkah, sedangkan kebutuhan orang yang diberi nafkah ditentukan menurut kebiasaan setempat. Sedangkan yang dimaksud dengan لينفق ذو سعة من سعته adalah bahwa perintah untuk memberi nafkah tersebut ditujukan kepada suami bukan terhadap isteri. Adapun maksud ayatلا يكلف الله نفسا الا مأ تا ها adalah bahwa orang fakir tidak dibebani untuk memberi nafkah layaknya orang kaya dalam memberi nafkah.[7] 2. Hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Aisyah R.A


 عَنْ عَائِشَةَ قَالَت دَخَلَتْ هِنْدٌ بِنْتُ عُتْبَةَ امْرَأَةُ أَبِي سُفْيَانَ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ

 يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ أَبَا سُفْيَانَ رَجُلٌ شَحِيحٌ لَا يُعْطِينِي مِنْ النَّفَقَةِ مَا يَكْفِينِي وَيَكْفِي بَنِيَّ إِلَّا مَا أَخَذْتُ مِنْ مَالِهِ بِغَيْر عِلْمِهِ فَهَلْ عَلَيَّ فِي ذَلِكَ مِنْ جُنَاحٍ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خُذِي مِنْ مَالِهِ بِالْمَعْرُوفِ مَا يَكْفِيكِ وَيَكْفِي بَنِيك


 “Dari Aisyah beliau berkata:” Hindun putri ‘Utbah isteri Abu Sufyan masuk menghadap Rasulullah SAW seraya berkata : Ya Rasulullah sesungguhnya Abu Sufyan adalah seorang lelaki yang kikir. Dia tidak memberikan saya nafkah yang cukup untuk saya dan anak-anakku selain apa yang saya ambil dari sebagian hartanya tanpa setahunya. Apakah saya berdosa karena perbuatanku itu ? Lalu Rasul Saw. bersabda: “Ambillah olehmu sebagian dari hartanya dengan cara yang baik secukupnya untukmu dan anak-anakmu.” (HR.Muslim)[8] Hadis tersebut jelas menyatakan bahwa ukuran nafkah itu relatif, jika kewajiban nafkah mempunyai batasan dan ukuran tertentu Rasulullah SAW. akan memerintahkan Hindun untuk mengambil ukuran nafkah yang dimaksud, tetapi pada saat itu Rasulullah hanya memerintahkan Hindun untuk mengambil sebagian harta suaminya dengan cara baik dan secukupnya. Ibnu Rusyd dalam kitabnya Bidayah Al-Mujtahid mengemukakan pendapat Imam Malik dan Abu Hanifah tentang ukuran nafkah ini bahwa besarnya nafkah tidak ditentukan oleh syara’, akan tetapi berdasarkan keadaan masing-masing suami-isteri dan hal ini akan berbeda–beda berdasarkan perbedaan tempat, waktu dan keadaan.[9] 3. Kesepakatan Imam Madzhab Empat Imam Fiqih madzhab sepekat menetapkan bahwa hukum memberikan nafkah keluarga adalah wajib bagi suami. Ketetpan ini bisa kit baca dalam kitab fiqih, antara lain dalam kitab Rahmatul Ummah Fikhtilafil A’immah Juz II halaman 91 “Para Imam yang empat sepakat menetapkan wajibnya suami memberikan nafkah bagi anggota keluarga yang dikepalainya, seperti orang tua, istri dan anak yang masih kecil” Kalimat yang sama juga disebutkan dalam kitab Mizanul Kubra Juz II halaman 138. Keduamya sama-sama mencontohkan bahwa anggota keluarga tidak sekedar istri, melainkan juga anak yang masih kecil (belum mampu mencari nafkah sendiri) dan orang tua (yang sudah tidak mampu mencari nafkah lagi). Hal ini lebih menegaskan bahwa semua orang yang ada di dalam kekuasaan suami, termasuk pembantu ataupun buadk, adalah anggota yang nafkahnya menjadi tanggungan suami. Sebagai kewajiban, maka setiap suami muslim harus mencukupi nafkah keluarga itu sesuai dengan kemampuannya. Jika dia menjalankannya dengan baik, maka Allah akan memberikan pahala. Dan jika dia meninggalkan atau melalaikannya maka dia berdosa dan akan mendapat siksa dari Allah .[10] 4. Undang-undang yang ada di Indonesia Mengenai nafkah sudah tercantum dalam Undang-undang RI nomor 1 tahun 1974 Bab VI mengenai Hak dan Kewajiban Suami Istri Pasal 34 ayat 1 sampai 3 yang berbunyi: 1) Suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya. 2) Istri wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya. 3) Jika suami atau istri melalaikan kewajiban masing-masing dapat mengajukan gugatan kepada pengadilan.[11] C. Macam-macam Nafkah Menurut jenisnya nafkah dibagi menjadi dua yaitu Pertama, nafkah lahir yang bersifat materi seperti sandang,pangan, papan dan biaya hidup lainnya termasuk biaya pendidikan anak. Kedua nafkah batin yang bersifat non-materi seperti hubungan intim, kasih sayang,perhatian dan lain-lain.[12] Menurut objeknya, Nafkah ada dua macam yaitu:  Nafkah untuk diri sendiri. Agama Islam mengajarkan agar nafkah untuk diri sendiri didahulukan daripada nafkah untuk orang lain. Diri sendiri tidak dibenarkan menderita, karena mengutamakan orang lain.  Nafkah untuk orang lain karena hubungan perkawinan dan hubungan kekerabatan. Setelah akad nikah, maka suami wajib memberi nafkah kepada istrinya paling tidak kebutuhan pokok sehari-hari seperti sandang, pangan dan papan.[13] D. Kadar Nafkah Kadar Nafkah yang paling ideal diberikan oleh para suami kepada segenap keluarganya adalah cukup, Tetapi, ketentuan cukup ini sangat bervariasi dan relatif apalagi jika dilihat dari selera pihak yang diberi yang notabene manusia itu sendiri memilliki sifat dasar tidak pernah merasa cukup. Kaitannya dengan kadar nafkah keluarga, Islam tidak mengajarkan untuk memberatkan para suami dan juga tidak mengajarkan kepada anggota keluarga untuk gemar menuntut. Sehungga kadar cukup itu bukan ditentukan dari pihak keluarga yang diberi, melainkan dari pihak suami yang memberi. Kecukupan disesuikan dengan kemampuan suami, tidak berlebihan dan tidak terlalu kikir.[14] E. Pendidikan Anak dalam Keluarga Pendidikan anak adalah perkara yang sangat penting di dalam Islam. Di dalam Al-Quran kita dapati bagaimana Allah menceritakan petuah-petuah Luqman yang merupakan bentuk pendidikan bagi anak-anaknya. Begitu pula dalam hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, kita temui banyak juga bentuk-bentuk pendidikan terhadap anak, baik dari perintah maupun perbuatan beliau mendidik anak secara langsung. Seorang pendidik, baik orangtua maupun guru hendaknya mengetahui betapa besarnya tanggung-jawab mereka di hadapan Allah ‘azza wa jalla terhadap pendidikan putra-putri islam. Tentang perkara ini, Allah azza wa jalla berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu”. (At-Tahrim: 6) Dan di dalam hadits yang diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Bukhari dan Al-Imam Muslim, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, كُلُّكُمْ رَاعٍ وَمَسْئُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ “Setiap di antara kalian adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawaban” Untuk itu -tidak bisa tidak-, seorang guru atau orang tua harus tahu apa saja yang harus diajarkan kepada seorang anak serta bagaimana metode yang telah dituntunkan oleh junjungan umat ini, Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Beberapa tuntunan tersebut antara lain:  Menanamkan Tauhid dan Aqidah yang Benar kepada Anak Suatu hal yang tidak bisa dipungkiri bahwa tauhid merupakan landasan Islam. Apabila seseorang benar tauhidnya, maka dia akan mendapatkan keselamatan di dunia dan akhirat. Sebaliknya, tanpa tauhid dia pasti terjatuh ke dalam kesyirikan dan akan menemui kecelakaan di dunia serta kekekalan di dalam adzab neraka. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman: إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan mengampuni yang lebih ringan daripada itu bagi orang-orang yang Allah kehendaki” (An- Nisa: 48) Oleh karena itu, di dalam Al-Quran pula Allah kisahkan nasehat Luqman kepada anaknya. Salah satunya berbunyi, يَا بُنَيَّ لَا تُشْرِكْ بِاللَّهِ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ “Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezhaliman yang besar”.(Luqman: 13) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sendiri telah memberikan contoh penanaman aqidah yang kokoh ini ketika beliau mengajari anak paman beliau, Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Al-Imam At-Tirmidzi dengan sanad yang hasan. Ibnu Abbas bercerita, “Pada suatu hari aku pernah berboncengan di belakang Nabi (di atas kendaraan), beliau berkata kepadaku: “Wahai anak, aku akan mengajari engkau beberapa kalimat: Jagalah Allah, niscaya Allah akan menjagamu. Jagalah Allah, niscaya engkau akan dapati Allah di hadapanmu. Jika engkau memohon, mohonlah kepada Allah. Jika engkau meminta tolong, minta tolonglah kepada Allah. Ketahuilah. kalaupun seluruh umat (jin dan manusia) berkumpul untuk memberikan satu pemberian yang bermanfaat kepadamu, tidak akan bermanfaat hal itu bagimu, kecuali jika itu telah ditetapkan Allah (akan bermanfaat bagimu). Ketahuilah. kalaupun seluruh umat (jin dan manusia)berkumpul untuk mencelakakan kamu, tidak akan mampu mencelakakanmu sedikitpun, kecuali jika itu telah ditetapkan Allah (akan sampai dan mencelakakanmu). Pena telah diangkat, dan telah kering lembaran-lembaran”. Perkara-perkara yang diajarkan oleh Rasulllah shallallahu ‘alaihi wasallam kepada Ibnu Abbas di atas adalah perkara tauhid. Termasuk aqidah yang perlu ditanamkan kepada anak sejak dini adalah tentang di mana Allah berada. Ini sangat penting, karena banyak kaum muslimin yang salah dalam perkara ini. Sebagian mengatakan bahwa Allah ada dimana-mana. Sebagian lagi mengatakan bahwa Allah ada di hati kita, dan beragam pendapat lainnya. Padahal dalil-dalil menunjukkan bahwa Allah itu berada di atas arsy, yaitu di atas langit. Dalilnya antara lain, “Ar-Rahman beristiwa di atas ‘Arsy” (Thaha: 5) Makna istiwa adalah tinggi dan meninggi sebagaimana di dalam riwayat Al-Bukhari dari tabi’in. Adapun dari hadits, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya kepada seorang budak wanita, “Dimana Allah?”. Budak tersebut menjawab, “Allah di langit”. Beliau bertanya pula, “Siapa aku?” budak itu menjawab, “Engkau Rasulullah”. Rasulllah kemudian bersabda, “Bebaskan dia, karena sesungguhnya dia adalah wanita mu’minah”. (HR. Muslim dan Abu Daud). Mengajari Anak untuk Melaksanakan Ibadah Hendaknya sejak kecil putra-putri kita diajarkan bagaimana beribadah dengan benar sesuai dengan tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Mulai dari tata cara bersuci, shalat, puasa serta beragam ibadah lainnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, صَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُونِي أُصَلِّي “Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat” (HR. Al-Bukhari). “Ajarilah anak-anak kalian untuk shalat ketika mereka berusia tujuh tahun, dan pukullah mereka ketika mereka berusia sepuluh tahun (bila tidak mau shalat-pen)” (Shahih. Lihat Shahih Shahihil Jami’ karya Al-Albani). Bila mereka telah bisa menjaga ketertiban dalam shalat, maka ajak pula mereka untuk menghadiri shalat berjama’ah di masjid. Dengan melatih mereka dari dini, insya Allah ketika dewasa, mereka sudah terbiasa dengan ibadah-ibadah tersebut. Mengajarkan Al-Quran, Hadits serta Doa dan Dzikir yang Ringan kepada Anak-anak Dimulai dengan surat Al-Fathihah dan surat-surat yang pendek serta doa tahiyat untuk shalat. Dan menyediakan guru khusus bagi mereka yang mengajari tajwid, menghapal Al-Quran serta hadits. Begitu pula dengan doa dan dzikir sehari-hari. Hendaknya mereka mulai menghafalkannya, seperti doa ketika makan, keluar masuk WC dan lain-lain. Mendidik Anak dengan Berbagai Adab dan Akhlaq yang Mulia Ajarilah anak dengan berbagai adab Islami seperti makan dengan tangan kanan, mengucapkan basmalah sebelum makan, menjaga kebersihan, mengucapkan salam, dll. Begitu pula dengan akhlak. Tanamkan kepada mereka akhlaq-akhlaq mulia seperti berkata dan bersikap jujur, berbakti kepada orang tua, dermawan, menghormati yang lebih tua dan sayang kepada yang lebih muda, serta beragam akhlaq lainnya. Melarang Anak dari Berbagai Perbuatan yang Diharamkan Hendaknya anak sedini mungkin diperingatkan dari beragam perbuatan yang tidak baik atau bahkan diharamkan, seperti merokok, judi, minum khamr, mencuri, mengambil hak orang lain, zhalim, durhaka kepada orang tua dan segenap perbuatan haram lainnya. Termasuk ke dalam permasalahan ini adalah musik dan gambar makhluk bernyawa. Banyak orangtua dan guru yang tidak mengetahui keharaman dua perkara ini, sehingga mereka membiarkan anak-anak bermain-main dengannya. Bahkan lebih dari itu –kita berlindung kepada Allah-, sebagian mereka menjadikan dua perkara ini sebagai metode pembelajaran bagi anak, dan memuji-mujinya sebagai cara belajar yang baik. Padahal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda tentang musik, لَيَكُونَنَّ مِنْ أُمَّتِي أَقْوَامٌ يَسْتَحِلُّونَ اَلْحِرَ وَالْحَرِيْرَ وَالْخَمْرَ وَالْمَعَازِفَ “Sungguh akan ada dari umatku yang menghalalkan zina, sutra, khamr dan al-ma’azif (alat-alat musik)”. (Shahih, HR. Al-Bukhari dan Abu Daud). Maknanya: Akan datang dari muslimin kaum-kaum yang meyakini bahwa perzinahan, mengenakan sutra asli (bagi laki-laki, pent.), minum khamar dan musik sebagai perkara yang halal, padahal perkara tersebut adalah haram. Dan al-ma’azif adalah setiap alat yang bernada dan bersuara teratur seperti kecapi, seruling, drum, gendang, rebana dan yang lainnya. Bahkan lonceng juga, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Lonceng itu serulingnya syaithan”. (HR. Muslim). Adapun tentang gambar, guru terbaik umat ini (Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam) telah bersabda, كُلُّ مُصَوِّرٍ فِي النَّارِ، يَجْعَلُ لَهُ بِكُلِّ صُوْرَةٍ صَوَّرَهَا نَفْسًا فَتُعَذِّبُهُ فِي جَهَنَّمَ “Seluruh tukang gambar (mahluk hidup) di neraka, maka kelak Allah akan jadikan pada setiap gambar-gambarnya menjadi hidup, kemudian gambar-gambar itu akan mengadzab dia di neraka jahannam”(HR. Muslim). إِنِّ أَشَدَّ النَّاسِ عَذَاباً عِنْدَ اللهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ اَلْمُصَوِّرُوْنَ “Sesungguhnya orang-orang yang paling keras siksanya di sisi Allah pada hari kiamat adalah para tukang gambar.” (HR. Muslim). Oleh karena itu hendaknya kita melarang anak-anak kita dari menggambar mahkluk hidup. Adapun gambar pemandangan, mobil, pesawat dan yang semacamnya maka ini tidaklah mengapa selama tidak ada gambar makhluk hidupnya. Menanamkan Cinta Jihad serta Keberanian Bacakanlah kepada mereka kisah-kisah keberanian Nabi dan para sahabatnya dalam peperangan untuk menegakkan Islam agar mereka mengetahui bahwa beliau adalah sosok yang pemberani, dan sahabat-sahabat beliau seperti Abu Bakr, Umar, Utsman, Ali dan Muawiyah telah membebaskan negeri-negeri. Tanamkan pula kepada mereka kebencian kepada orang-orang kafir. Tanamkan bahwa kaum muslimin akan membebaskan Al-Quds ketika mereka mau kembali mempelajari Islam dan berjihad di jalan Allah. Mereka akan ditolong dengan seizin Allah. Didiklah mereka agar berani beramar ma’ruf nahi munkar, dan hendaknya mereka tidaklah takut melainkan hanya kepada Allah. Dan tidak boleh menakut-nakuti mereka dengan cerita-cerita bohong, horor serta menakuti mereka dengan gelap. Membiasakan Anak dengan Pakaian yang Syar’i Hendaknya anak-anak dibiasakan menggunakan pakaian sesuai dengan jenis kelaminnya. Anak laki-laki menggunakan pakaian laki-laki dan anak perempuan menggunakan pakaian perempuan. Jauhkan anak-anak dari model-model pakaian barat yang tidak syar’i, bahkan ketat dan menunjukkan aurat. Tentang hal ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ “Barangsiapa yang meniru sebuah kaum, maka dia termasuk mereka.” (Shahih, HR. Abu Daud) Untuk anak-anak perempuan, biasakanlah agar mereka mengenakan kerudung penutup kepala sehingga ketika dewasa mereka akan mudah untuk mengenakan jilbab yang syar’i. Demikianlah beberapa tuntunan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam mendidik anak. Hendaknya para orang tua dan pendidik bisa merealisasikannya dalam pendidikan mereka terhadap anak-anak. Dan hendaknya pula mereka ingat, untuk selalu bersabar, menasehati putra-putri Islam dengan lembut dan penuh kasih sayang. Jangan membentak atau mencela mereka, apalagi sampai mengumbar-umbar kesalahan mereka. 5


 BAB III PENUTUP 


KESIMPULAN 



        Nafkah keluarga adalah pengeluaran yang biasanya dipergunakan oleh seseorang suami untuk keluargany yang menjadi tanggungannya dalam memenuhi kebutuhan hidup, baik berupa pangan, sandang ataupun papan dan lainnya dengan sesuatu yang baik dan halal. Adapun dasar hukum tentang eksistensi dan kewajiban nafkah terdapat dalam Al-Qur’an salah satunya Surat Ath-Thalaq ayat 6-7; Hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah dan dibukukan di Shahih Muslim ; kesepakatan para imam madzhab dalam kitab Rahmatul Ummah Fikhtilafil A’immah Juz II halaman 91 dan dalam kitab Mizanul Kubra Juz II halaman 138; maupun UU yang ada di Indonesia yaitu Undang-undang RI nomor 1 tahun 1974 Bab VI mengenai Hak dan Kewajiban Suami Istri Pasal 34 ayat 1 sampai 3. Macam-macam nafkah dibedakan berdasarkan bentuk dan objeknya. Kadar dari nafkah yang diberikan adalah cukup yaitu sesuai kemampuan suami, tidak berlebihan dan tiadak kikir. Terjadinya perbedaan pendapat ulama dalam hal kapankah seorang istri berhak atas nafkah dari suaminya dikarenakan ayat dan hadis tidak menjelaskan secara khusus syarat-syarat wajib nafkah istri.  Oleh karena itu tidak ada ketentuan secara khusus dari nabi SAW mengenai hal tersebut sehingga di kalangan ulama terdapat perbedaan pendapat dalam menetapkan syarat-syarat wajibnya seseorang istri mendapatkan nafkah. Begitu pula kewajiban untuk memberikan pendidikan kepada anak-anak, yang menjadi sebuah kewajiban bagi keluarga dalam membina dan mendidik anaknya meliputi: Menanamkan tauhid dan aqidah yang benar kepada Anak, Mengajari anak untuk melaksanakan ibadah, Mengajarkan Al-Quran, Hadits serta do’a dan dzikir yang ringan kepada anak-anak.dst.




DAFTAR PUSTAKA


  Al- Munjid fi Al – Lughat wa Al-i`lam , (Beirut:al-Maktabah al – Syirkiyah , 1986)
  Munawir, Ahmad Warson. Kamus Al Munawwir, (Yogyakarta:Pondok Pesantren al – Munawwir, 1984) 
  Departemen Pendidikan Nasional ,Kamus Besar Bahasa Indonesia , (Jakarta, Balai Pustaka, 2002)
  http://kamusfiqih.wordpress.com 
  RI, Departemen Agama. Al-Qur’an dan Terjemahannya , 
  Hakim, Rahmat. Hukum Pernikahan Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2000) 
  Al-Qurthubi, Muhammad. Al-Jami’ li Ahkam Al-Quran, (Beirut: Dar-al-Ihya li Tirkah al-Arabi, 1985)
  Muslim, Imam. Shohih Muslim. Juz 9
  Rusyd, Ibnu. Bidayah al-Mujtahid, Penerjemah; M.A. Abdurrahman, (Semarang: Asy-Syifa’, 1990)
  Halim, M.Nipan Abdul. Membahagiakan Istri sejak Malam Pertama, (Yogyakarta:Pustaka Pelajar,2002)  
  Hasan, M. Ali. Pedoman Berumah Tangga dalam Islam, (Jakarta: Siraja, 2006) 
  Al-Zuhaili, Wahbah. Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu, (Suriah : Dar al-Fikr bi Damsyiq, 2002)
  Al-Maraghi, Ahmad Mustafa. Tafsir Al-Maraghi. Juz IV (Semarang:PT. Karya Toha Putra,1993)
  http://www.wiramandiri.wordpress.com.

 ________________________________________ Created by : Akbar dan Huda

0 komentar:

Posting Komentar